Menu

Mode Gelap
APBD Cilacap 2026 Ditetapkan, Dana Transfer Turun Rp. 395 Miliar Bupati Aceh Tengah Liburkan Sekolah Akibat Banjir Bunga Reflesia Hasselttii Mekar Di Temajuk, Sambas – Keajaiban Langka Di Tengah Terdesaknya Hutan Kapolres Priok, Hadiri Gelar Doa Bersama dan Bakti Sosial untuk Korban Bencana di Aceh, Sumut, dan Sumbar Ditjen Hubdat Tingkatkan Pengawasan di UPPKB Kemenhub Perbaiki Sarpras Transportasi di Daerah Terdampak Bencana Sumatera

PERISTIWA

Di Sambas Kalbar, Live Streaming Berujung Jerat Hukum

badge-check


					Di Sambas Kalbar, Live Streaming Berujung Jerat Hukum Perbesar

Wartatrans.com, KALBAR — Di era ketika layar ponsel menjadi panggung, dan perhatian publik dapat diraih melalui sentuhan jari, batas antara kebebasan berekspresi dan pelanggaran etika semakin tipis. Perubahan teknologi membawa kemudahan, tetapi juga membuka ruang bagi tindakan yang pada akhirnya mendatangkan konsekuensi hukum. Itulah yang terjadi pada sepasang remaja di Kalimantan Barat, yang kini harus berhadapan dengan proses hukum setelah melakukan tindakan asusila melalui siaran langsung di media sosial.

Kamis malam, 27 November 2025, suasana di salah satu rumah di Kecamatan Semparuk, Kabupaten Sambas, terlihat tenang dari luar. Namun, di balik keheningan itu, Satreskrim Polres Singkawang bersama Satreskrim Polres Sambas dan Polsek Semparuk bergerak cepat. Tepat pukul 19.30 WIB, aparat mendatangi rumah tempat perempuan terduga pelaku tinggal bersama keluarganya. Operasi berlangsung tanpa keributan, tanpa perlawanan, dan tanpa drama. Sang remaja perempuan diamankan bersama barang bukti yang diperlukan untuk proses hukum lebih lanjut.

Tindakan ini bukan terjadi tanpa alasan. Empat hari sebelumnya, pada Minggu, 23 November 2025, sebuah video live streaming viral di jagat media sosial, terutama di platform TikTok. Video itu memperlihatkan seorang remaja laki-laki dan perempuan melakukan tindakan asusila secara terang-terangan melalui siaran langsung. Tayangan tersebut dengan cepat menyebar luas, menimbulkan keresahan publik, serta memicu kemarahan dan kecemasan warga, terutama di wilayah Kabupaten Sambas.

Banyak orang yang menyaksikannya merasa terkejut dengan keberanian, atau mungkin kelalaian, yang ditunjukkan kedua remaja itu dalam mempertontonkan hal-hal yang seharusnya berada dalam ranah privasi, bukan konsumsi publik. Media sosial yang awalnya menjadi sarana kreatif untuk mengekspresikan diri, kali ini disalahgunakan menjadi tempat bagi tindakan yang melanggar norma sosial, budaya, dan hukum.

Setelah menerima laporan dari masyarakat, Polres Sambas segera melakukan penyelidikan. Dari hasil pelacakan lokasi dan digital forensik awal, diketahui bahwa tindakan tersebut dilakukan di wilayah yang masuk dalam yurisdiksi Polres Singkawang. Dengan demikian, sesuai ketentuan hukum mengenai locus delicti -tempat terjadinya tindak pidana- penanganan kasus ini harus dialihkan kepada aparat yang berwenang di wilayah tersebut.

Koordinasi antar institusi kepolisian berjalan cepat dan terarah. Polres Sambas menyerahkan data pendukung penyelidikan ke Polres Singkawang, yang kemudian melakukan penindakan lapangan. Ketika terduga pelaku diamankan, suasana tetap kondusif. Tidak terjadi pertentangan atau upaya menghalangi petugas. Keluarga pelaku tampak pasrah, memahami sepenuhnya bahwa tindakan ini telah memasuki ranah hukum.

Dua pasal menjadi dasar jerat hukum bagi para pelaku: Undang-Undang Pornografi Nomor 44 Tahun 2008, serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Nomor 11 Tahun 2008. Ancaman hukuman maksimal dari kedua aturan ini dapat mencapai hingga 12 tahun penjara, bergantung pada pembuktian dan putusan pengadilan nantinya.

Bukan hanya tindakan pelaku yang menjadi perhatian, namun efek lanjutan dari penyebaran konten tersebut juga menimbulkan sorotan. Banyak pihak yang tanpa sadar ikut menyebarkan ulang rekaman live streaming tersebut, baik melalui fitur pesan pribadi, grup, ataupun platform media sosial lainnya. Padahal, penyebarluasan konten pornografi juga termasuk perbuatan pidana, dan dapat dikenakan sanksi serupa.

Menyikapi fenomena ini, Kasi Humas Polres Sambas, AKP Sadoko Kasih Wiyono, menyampaikan imbauan tegas kepada masyarakat. Dalam keterangannya, ia meminta agar warga tidak menyebarkan kembali konten yang mengandung unsur pornografi. Ia menekankan bahwa dunia digital memiliki konsekuensi nyata di dunia hukum.

“Kami mengimbau masyarakat agar tidak memperbanyak atau menyebarluaskan video maupun konten yang bersifat asusila, pornografi, maupun pornoaksi. Bijaklah dalam bermedia sosial, jaga etika dan norma, karena apa yang kita sebarkan dapat berdampak pada keresahan lingkungan dan bisa menimbulkan konsekuensi hukum,” ungkapnya.

Fenomena ini menjadi potret baru tentang bagaimana media sosial dapat menjadi ruang yang sulit dikendalikan. Bagi sebagian pengguna, fitur seperti live streaming dianggap sebagai tempat untuk mencari sensasi, popularitas, atau sekadar hiburan tanpa memikirkan dampak jangka panjang. Namun, sesungguhnya ruang digital memiliki aturan dan batasan yang sama dengan kehidupan nyata.

Kasus ini juga menjadi alarm bagi orang tua. Dalam lanskap dunia digital yang sangat cepat, perhatian terhadap aktivitas anak di internet bukan lagi sekadar pilihan, melainkan kebutuhan. Remaja tumbuh dalam generasi yang terhubung dengan layar, namun belum semuanya memiliki pemahaman matang mengenai batasan moral, risiko hukum, serta jejak digital yang tidak bisa dihapus begitu saja.

Kini, proses hukum tengah berjalan. Pasangan muda itu akan menjalani pemeriksaan lanjutan, pendampingan hukum, serta asesmen jika diperlukan. Perjalanan mereka menuju proses peradilan mungkin panjang, namun satu hal jelas: tindakan yang dilakukan, meski melalui layar ponsel, bukan sekadar hiburan atau ekspresi diri—melainkan pelanggaran yang memiliki konsekuensi hukum.

Peristiwa ini diharapkan menjadi pelajaran bagi masyarakat luas. Teknologi seharusnya digunakan untuk membangun, bukan merusak. Media sosial dapat menjadi ruang kreatif, informatif, dan inspiratif, jika digunakan dengan bijak. Namun, tanpa etika dan pemahaman hukum, ia dapat berubah menjadi jeratan yang mematikan masa depan.

Pada akhirnya, kasus ini bukan hanya tentang dua pelaku yang kini berhadapan dengan hukum, tetapi juga tentang refleksi kolektif: sejauh mana kita memahami batasan dalam menggunakan teknologi? Apakah ruang digital memang sudah membentuk budaya baru tanpa aturan, atau kita sedang melupakan bahwa hukum tetap berlaku di manapun, termasuk di dunia maya?

Jawabannya kini sedang berjalan bersamaan dengan proses hukum yang menanti.*** (LonyenkRap)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

APBD Cilacap 2026 Ditetapkan, Dana Transfer Turun Rp. 395 Miliar

1 Desember 2025 - 12:33 WIB

Bupati Aceh Tengah Liburkan Sekolah Akibat Banjir

1 Desember 2025 - 11:35 WIB

Bunga Reflesia Hasselttii Mekar Di Temajuk, Sambas – Keajaiban Langka Di Tengah Terdesaknya Hutan

1 Desember 2025 - 11:13 WIB

Kapolres Priok, Hadiri Gelar Doa Bersama dan Bakti Sosial untuk Korban Bencana di Aceh, Sumut, dan Sumbar

1 Desember 2025 - 11:07 WIB

Membaca Kembali Ruang Alternatif Pasca-Revitalisasi TIM: Analisis Wacana pada Diskusi Paradocs #2 Peruja dan IKJ

1 Desember 2025 - 07:48 WIB

Trending di PERISTIWA