Penulis: Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata
Trans Metro Dewata bukan sekadar solusi transportasi internal, tetapi merupakan investasi strategis untuk menjaga reputasi dan daya saing Bali di kancah pariwisata global, memastikan bahwa wisatawan tidak beralih ke destinasi wisata lain hanya karena frustrasi dengan kemacetan lalu lintas

Wartatrans.com, SEMARANG – Sebagai destinasi wisata unggulan, pertumbuhan ekonomi Provinsi Bali sangat bergantung pada kelancaran mobilitas masyarakat dan wisatawan.
Sayangnya, peningkatan kendaraan pribadi tanpa dukungan angkutan umum yang memadai telah memicu kemacetan parah di kawasan strategis (Kota Denpasar, Kab. Badung, Kab. Gianyar, dan Kab. Tabanan).
Untuk merespons strategis, Direktorat Jenderal perhubungan Darat Kementerian Perhubungan mengimplementasikan program Buy The Service (BTS), yakni pembelian layanan angkutan umum dari operator swasta.
Di Bali, inisiatif ini terwujud dalam layanan Trans Metro Dewata. Beroperasi sejak akhir tahun 2020, Trans Metro Dewata melayani enam koridor utama di Wilayah Perkotaan Sarbagita, hadir sebagai solusi untuk mengalihkan preferensi mobilitas masyarakat dari kendaraan pribadi.
Meskipun berhasil diimplementasikan, tantangan utama layanan Trans Metro Dewata adalah keterbatasan anggaran. Sejak awal, operasional Trans Metro Dewata didanai penuh oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui Kementerian Perhubungan.
Namun, setelah kontrak program BTS tahap pertama berakhir pada tahun 2024, tidak ada lagi alokasi APBN untuk Trans Metro Dewata di tahun 2025, yang berakibat pada sempat terhentinya operasional layanan pada awal tahun tersebut.
Atas situasi tersebut, Pemerintah Provinsi Bali berkomitmen melanjutkan operasional Trans Metro Dewata demi memastikan kebutuhan mobilitas masyarakat terpenuhi.
Solusi pendanaan ditemukan melalui kerja sama pembiayaan bersama antara Pemprov dan Pemkab/Pemkot melalui skema Bantuan Keuangan Khusus (BKK).
Mekanisme pembiayaan daerah ini telah disepakati dan diresmikan melalui Perjanjian Kerja Sama (PKS).
Dengan adanya dukungan Bantuan Keuangan Khusus (BKK), Pemerintah Kabupaten/Kota kini dapat berkontribusi langsung dalam memperkuat sistem transportasi publik yang terintegrasi dan inklusif. Kolaborasi lintas pemerintah ini menjadi kunci untuk mewujudkan visi jangka panjang Bali sebagai provinsi dengan sistem mobilitas yang berkelanjutan, ramah lingkungan, dan berdaya saing tinggi.
Hingga tahun 2025, layanan Angkutan Umum Perkotaan di Bali khususnya kawasan SARBAGITA dilayani oleh Trans Metro Dewata dan Trans Sarbagita.
Operasional Trans Metro Dewata
Berdasarkan data dari Dinas Perhubungan Provinsi Bali (2025), layanan Trans Metro Dewata dengan 6 koridor eksisting, yaitu Terminal Pesiapan – Central Parkir Kuta (13 bus Siap Operasi dan 1 bus Cadangan), Ubung – Monkey Forest (12 bus Siap Operasi dan 1 bus Cadangan), Ubung – GOR – Bandara (13 bus Siap Operasi dan 1 bus Cadangan), Central Parkir Kuta – PNB – Titi Banda (13 bus Siap Operasi dan 1 bus Cadangan).
Ubung – Sanur (9 bus Siap Operasi dan 1 bus Cadangan), dan Central Parkir Kuta – Bandara – Nusa Dua (9 bus Siap Operasi dan 1 bus Cadangan). Total kendaraan tersedia 75 armada bus sedang.
Waktu pelayanan selama 16 jam mulai jam 4.30 WITA hingga 18.30 WITA dengan jadwal kedatangan (headway) 18 -19 menit.
Headway masih harus diperbaiki, hingga menjadi 10 – 15 menit dengan cara meambah jumlah armada bus di masing-masing koridor.
Dengan headway yang semakin pendek akan menjadikan penumpang tidak menunggu terlalu lama di tempat perhentian. dan akan menaikkan jumlah penumpang
Sharing pembiayaan operasional
Pembiayaan Trans Metro Dewata ditanggung oleh masing-masing pemda dengan komposisi 30 persen Pemerintah Provinsi Bali dan 70 persen dibebankan ke Kota Denpasar, Kab. Badung, Kab. Gianayar dan Kab. Tabanan.
Masing kota dan kabupaten menerima tanggungan presentasi berdasarkan panjang lintasan yang dilewati Trans Mero Dewata.
Sepanjang 129,37 km berada di Kota Denpasar (40,27 persen), Kabupaten Badung 134,93 km (42 persen), Kabupaten Gianyar 43,57 km (13,5 persen) dan Kabupaten Tabanan 13,39 km (4,1 persen).
Total subsidi operasional tahun 2025 sebesar Rp56.349.306.744. APBD Pemprov. Bali (30 persen) sebesar Rp16.904.792.923,20 dan APBD Pemkab/Pemkot (70 persen) sebesar Rp39.444.516.820,,80.
Kemudian masing-masing Kab. Badung (42 persen) Rp16.566.697.064,74, Kota Denpasar (40,77 persen) Rp15.884.306.923,74, Kab. Gianyar (13,56 persen) Rp15.884.306.923,74, Kab. Tabanan (4,17 persen) Rp1.644.836.351,43.
Kota Denpasar dan Kab. Gianyar sudah memiliki anggaran untuk operasional transportasi umum di daerahnya. Minimal sudah tersedia layanan transportasi umum untuk pelajar dengan gratis.
Tantangan mengembangkan Trans Metro Dewata
Tantangan terbesar Trans Metro Dewata adalah bagaimana mencapai titik di mana Pemda memiliki komitmen anggaran yang kuat untuk menjamin keberlanjutan, sambil meningkatkan kualitas layanan dan infrastruktur agar masyarakat dan wisatawan mau beralih dari kendaraan pribadi.
Secara umum, tantangan-tantangan itu ada tiga kategori, yaitu finansial/keberlanjutan anggaran, operasional, infrastruktur dan budaya/adaptasi.
Pertama, tantangan finansial dan keberlanjutan anggaran.
Ini adalah tantangan paling krusial yang sempat menyebabkan Trans Metro Dewata mengalami penghentian operasional sementara.
Ketergantungan pada Subsidi (APBN), Trans Metro Dewata merupakan program Buy The Service (BTS) dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, yang sangat bergantung pada subsidi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Ketika dukungan anggaran dari pusat tidak ada kejelasan atau dihentikan, kelangsungan operasional langsung terancam.
Komitmen anggaran pemda, ada isu mengenai keseriusan dan kemauan Pemerintah Daerah (Pemprov Bali dan Pemda Sarbagita) untuk mengambil alih sebagian atau seluruh subsidi operasional menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Tarif vs biaya operasi, walaupun sudah dikenakan tarif (setelah masa gratis), besaran tarif tersebut (sekitar Rp4.400) belum tentu mampu menutupi seluruh Biaya Operasi Kendaraan (BOK), sehingga tetap membutuhkan subsidi agar operasional dapat berlanjut dengan kualitas layanan yang baik.
Kedua, tantangan operasional dan infrastruktur.
Tantangan ini berkaitan dengan efektivitas layanan dan kenyamanan pengguna. Persaingan dengan transportasi pribadi/sewa, di Bali memiliki budaya yang sangat kuat terhadap penggunaan kendaraan pribadi (sepeda motor) dan layanan sewa/transportasi daring.
Mengubah kebiasaan masyarakat dan wisatawan untuk beralih ke angkutan umum adalah pekerjaan berat.
Infrastruktur halte yang belum optimal, sebagian besar titik pemberhentian bus masih berupa bus stop atau halte yang sederhana. Kurangnya halte yang representatif, nyaman, dan aman (misalnya tidak beratap, minim fasilitas) dapat mengurangi minat penumpang.
Kemacetan lalu lintas di Bali, khususnya wilayah Sarbagita (Kota Denpasar, Kab. Badung, Kab. Gianyar, dan Kab. Tabanan), terkenal dengan kemacetan. Trans Metro Dewata beroperasi di jalur yang bercampur dengan lalu lintas reguler, yang membuat jadwal kedatangan (headway) menjadi tidak menentu dan sulit diprediksi, mengurangi kualitas layanan.
Integrasi rute, meskipun sudah melayani beberapa koridor, integrasi Trnas Metro Dewata dengan angkutan feeder (pengumpan) lokal dan moda transportasi lain (seperti Trans Sarbagita) masih perlu dioptimalkan agar jangkauannya lebih luas dan terkoneksi.
Ketiga, tantangan budaya dan adaptasi. Minimnya budaya menggunakan transportasi umum, masyarakat Bali, seperti di banyak kota di Indonesia, belum memiliki kebiasaan kuat menggunakan transportasi publik dalam aktivitas sehari-hari, terutama untuk jarak dekat.
Kemudian kesadaran wisatawan, meskipun menjadi salah satu target utama, banyak wisatawan asing dan domestik masih memilih solusi transportasi yang lebih fleksibel dan door-to-door (seperti taksi atau sewa motor/mobil) daripada bus umum.
Juga headway masih belum sesuai standar untuk layanan transportasi umum perkotaan. Kisaran 10 – 15 menit adalah headway yang ideal, sehingga bila ada penumpang teritinggal tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan kedatangan bus berikutnya di lokasi perhentian.
Sumber pembiayaan operasional Trans Metro Dewata selain dari tiket penumpang, iklan di halte dan body bus, juga masih memungkinkan didapat dari pembagian dana bagi hasil pengelolaan Bandara Internasional Ngurah Rai.
Selain itu juga dari dana pungutan wisatawan mancanegara sebesar Rp 150 ribu setara setara 10 dollar AS setiap turis yang datang ke Bali dapat disisihkan untuk memberikan subsidi ke penyelenggaraan transportasi umum.
Bila menggunakan basis jumlah kunjungan pada 2023, potensi penerimaan dari pungutan ini mencapai Rp795 miliar.
Penghitungan itu didasarkan pada jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali sepanjang 2023 yang mencapai 5,3 juta pengunjung.
Angkanya meningkat 144,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Meski belum dapat menyentuh angka kunjungan pada prapandemi Covid-19 pada 2019 yang mencapai 6,3 juta pengunjung, trennya diprediksi akan meningkat (Kompas.id, 13/02/2024).
Disamping itu, pengembangan layanan angkutan pengumpan (feeder) yang menjangkau 43 kawasan perumahan tersebut, terutama yang terkonsentrasi di Kab. Tabanan (35 kawasan perumahan) dan Badung 5 kawasan perumahan merupakan langkah strategis yang wajib dilakukan agar Trans Metro Dewata benar-benar menjadi tulang punggung transportasi publik di Sarbagita.
Sementara di Kabupaten Gianyar 2 kawasan perumahan dan Kota Denpasar ada1 kawasan perumahan.
Trans Metro Dewata menawarkan alternatif yang terencana dan beroperasi pada rute-rute strategis, sehingga memberikan pilihan transportasi yang lebih dapat diprediksi dibandingkan menggunakan taksi atau kendaraan sewa pribadi di tengah padatnya lalu lintas.
Dengan tarif yang sangat terjangkau, Trans Metro Dewata memberikan solusi budget-friendly bagi wisatawan, terutama backpacker atau mereka yang ingin berwisata secara mandiri tanpa terikat biaya sewa mobil atau ojek online yang bisa melonjak saat macet.
Layanan bus massal seperti Trans Metro Dewata mendukung citra Bali sebagai destinasi yang memprioritaskan mobilitas berkelanjutan, mengurangi emisi, dan mengatasi dampak negatif dari tingginya volume kendaraan pribadi.
Ini menjadi poin plus di mata wisatawan modern yang sadar lingkungan. (omy)









