WartaTrans.Com— Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA (UHAMKA) menyelenggarakan Seminar Bahasa dan Budaya di Aula Ahmad Dahlan lantai 6 Kampus UHAMKA, Jakarta, Rabu (12/11/2025). Seminar ini menghadirkan sejumlah narasumber berkompeten, antara lain Prof. Dr. Agus Suryadika, Dr. Desvian Bandarsyah, Dr. Tajudin Nour, Chairil Gibran Ramadhan (CGR), Yahya Andi Saputra, dan Erfi Firmansyah.
Dalam seminar tersebut, para pembicara membahas berbagai aspek bahasa dan budaya Betawi, mulai dari dialek, karakter tutur, hingga tantangan pelestarian budaya lokal di tengah arus modernisasi.

Momen penting dalam kegiatan ini adalah penganugerahan Uhamka Award kepada Chairil Gibran Ramadhan, budayawan, sastrawan, sekaligus peneliti sejarah sosial yang dikenal luas atas kiprahnya dalam mempromosikan budaya Betawi selama lebih dari dua dekade.
Ketua Pusat Studi Bahasa UHAMKA, Dr. Edi Sukardi, M.Pd, dalam sambutannya menyampaikan bahwa penghargaan ini merupakan bentuk apresiasi universitas terhadap tokoh-tokoh yang berkontribusi nyata dalam dunia bahasa, sastra, dan kebudayaan. “Ke depan, Uhamka Award akan terus diselenggarakan dan diberikan kepada tokoh-tokoh yang layak menerimanya,” ujarnya.
Chairil Gibran Ramadhan, yang dikenal kritis terhadap pemerintah, dalam kesempatan itu menyampaikan sindiran tajam terhadap kurangnya perhatian negara terhadap budaya lokal. “Mungkin bangsa ini harus dijajah lagi oleh Belanda agar sadar pentingnya melestarikan bahasa dan budaya sendiri,” ujarnya, disambut tawa sekaligus renungan oleh para peserta seminar.

CGR (sebelah kiri) saat menerima penghargaan.
CGR dikenal luas melalui karya-karyanya yang konsisten mengangkat tema Betawi, Batavia, dan Jakarta. Sejak tahun 1997, tulisannya tampil di berbagai media nasional. Ia dikenal lewat buku Sebelas Colen di Malam Lebaran: Setangkle Cerita Betawi (2008), Kembang Kelapa: Setangkle Catatan Budaya Betawi, serta lima buku puisi sejarah-budaya bertema Betawi dan Jakarta.
Selain itu, ia menggagas penerbitan Kembang Goyang: Orang Betawi Menulis Kampungnya (1900–2000) yang menghimpun karya para sastrawan Betawi, termasuk M. Balfas. Ia juga menulis skenario film biopik “Ismail Marzuki” yang akan difilmkan oleh PPFN dan Padasan Pictures.
CGR pernah menjadi redaktur Majalah Sastra Horison berkat rekomendasi Taufiq Ismail dan menggagas berbagai inisiatif kebudayaan, seperti Museum Etnografi Orang Betawi, Betawi Institute, Penerbit Padasan, dan jurnal Stamboel: Journal of Betawi Socio-Cultural Studies.
Melalui perjalanan panjangnya di dunia sastra dan kebudayaan, Chairil Gibran Ramadhan diakui sebagai sosok yang konsisten menjaga identitas Betawi dalam karya, penelitian, dan gerakan kebudayaan.
Seminar ini dihadiri oleh tokoh-tokoh budaya Betawi, akademisi, serta mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta. Acara berlangsung hangat dan reflektif, menjadi ruang penting bagi pelestarian bahasa serta penguatan identitas budaya lokal di tengah masyarakat urban.
Namun menurut CGR acara tersebut memiliki kesalahan pada judul acara: “Bahasa Melayu Betawi dalam Tuturan Bahasa Melayu Tinggi”. Kata “Bahasa Melayu Betawi” pada judul, oleh panitia para pembicara lain, dimaknai sebagai Bahasa Betawi yang kini memasyarakat dan “Bahasa Melayu Tinggi” dimaknai sebagai Bahasa Indonesia yang sekarang ada.
Padahal, menurut CGR, jika dilihat dari sisi ragam bahasa pada Masa Kolonial, ragam bahasa “Melayu Betawi”dan “Melayu Tinggi” adalah “Kembar tidak identik yang lahir dari rahim Nusantara.”
Lebih jauh CGR menambahkan, ragam bahasa Melayu Betawi disebut juga Melayu Tionghoa, Melayu Pasar, Melayu Rendah. Populer digunakan antara 1870-an hingga 1940-an sebagai bahasa lisan dalam pergaulan keseharian. Sedangkan Melayu Tinggi yang disebut juga Melayu Balai Pustaka, Melayu Gupernemen, Melayu Diplomasi, atau Melayu Kitab, merupakan bahasa formal pada dunia pemerintahan, pendidikan, dan sastra. Ragam bahasa ini berasal dari dialek Melayu Riau dan menjadi dasar Bahasa Indonesia.
Sebagai sastrawan yang menguasai semua ragam ejaan yang pernah ada di Indonesia dan ragam bahasa Melayu Rendah dan Melayu Tinggi yang diwujudkan dalam karya-karya cerpen dan puisinya, CGR menyayangkan panitia yang tidak memahami kedua ragam bahasa ini dan memberitahu para pembicara dalam membuat makalah.
“Saya pikir, acara ini akan membicarakan tentang seluk-beluk ragam bahasa Melayu Rendah, para sastrawan-wartawan Tionghoa Peranakan yang menghasilkan karya berbahasa Melayu Rendah, dan pengaruh keberadaan karya mereka. Sambil kemudian dibandingkan dengan keberadaan bahasa Melayu Tinggi. Kebetulan sejak 2011 saya memang concern pada segala yang menyangkut ragam bahasa Melayu Rendah ini,” terangnya.
CGR mengaku, ia banyak belajar dunia ragam bahasa Melayu Rendah dari David Kwa (1956-2020), guru dan sahabatnya, yang merupakan pemerhati budaya Tionghoa-Peranakan dan pakar bahaa Melayu Rendah. Sang guru bahkan pernah berkata kepadanya: “Kamu kalau bikin cerpen pakai bahasa Melayu Rendah, sudah kaya’ orang dulu beneran, Ril,” cerita CGR.
CGR juga menyoroti hadirnya delapan pembicara pada satu meja untuk durasi selama tiga jam. Menurutnya, acara ini sebaiknya dipecah menjadi dua sesi, pagi dan siang. Akibatnya, acara yang menarik ini, menjadi anti klimak karena sesi tanya-jawab, hanya sebatas, “tanya”, karena “jawab” sudah tidak kebagian waktu. Sebelumnya, kedelapan pembicara juga menjadi terburu-buru dalam memaparkan pemikirannya. CGR berharap, tahun depan, acara yang digelar PSB UHAMKA ini digarap lebih profesional, ada komunikasi antara panitia dengan narasumber, dan mengatur posisi duduk yang nyaman bagi para peserta.***









