Wartatrans.com, LINGE – Kabut pagi menggantung di lembah Linge, menyelimuti pepohonan basah dan bebatuan licin. Usai hujan deras yang memutus jembatan dan menimbun sejumlah badan jalan, penyair senior L.K. Ara tetap melanjutkan agenda kebudayaannya di wilayah tersebut. Ia hadir sebagai tamu undangan Festival Linge ke-2 untuk membacakan puisi dan menjadi juri lomba sastra.
Dalam acara itu, L.K. Ara memukau pengunjung dengan pembacaan puisinya “Syair Riwayat Adi Genali, Raja ke-4”, sebuah karya yang sarat pesan moral bagi masyarakat Linge: agar tetap “juyur, berani, dan memiliki harga diri.” Pembacaan tersebut menggema di aula festival, menggetarkan hati warga dan para peserta lomba.

Selama berada di Linge, L.K. Ara menginap di rumah juru kunci Rumah Adat Gayo, Rumah Pitu Ruang. Malam-malamnya diisi perbincangan mengenai sastra, kehidupan, dan budaya Gayo, menghadirkan suasana hangat di tengah cuaca yang tak bersahabat.
Pada Kamis pagi, rombongan bergerak menuju penyeberangan sungai di Kala Ili. Rakit tak dapat beroperasi akibat arus deras; hanya sling tipis yang tersisa untuk diseberangi. Sebelum menyeberang, Reje Kampung Linge kembali meminta penyair itu membacakan bait-bait “Syair Riwayat Adi Genali”. Suara L.K. Ara kembali menggema di tepian sungai, menguatkan warga bahwa nilai-nilai kejujuran dan keberanian tak boleh luntur meski dihadapkan pada tantangan alam.
Momen menyeberang menjadi sorotan. Langkah demi langkah L.K. Ara di atas sling berlangsung dalam ketegangan, diiringi percikan air dari arus sungai yang mengamuk. Warga menyaksikan dengan napas tertahan hingga penyair berusia lanjut itu tiba dengan selamat di seberang, disambut tepuk tangan hangat.
Perjalanan dilanjutkan menuju Wag, didampingi Rusli—Kepala Sekolah SD setempat—dengan sepeda motor. Jalan licin dan berbatu menuntut konsentrasi tinggi. Ban motor hanya berjarak beberapa jengkal dari tebing curam, medan yang membuat setiap tikungan terasa menegangkan. Namun pemandangan lembah dan hutan pegunungan memberikan ketenangan di tengah risiko perjalanan.
Keesokan harinya, Rusli kembali mengantar L.K. Ara menuju Takengon. Meski jalur masih becek dan berliku, perjalanan berlangsung lebih aman berkat pengalaman sehari sebelumnya serta kepedulian masyarakat setempat.
Bagi warga Linge, perjalanan ini meninggalkan kesan mendalam. Mereka menilai bahwa puisi, budaya, dan semangat kebudayaan tetap hidup, bahkan di tengah medan yang paling sulit. Arus sungai, malam-malam di Rumah Pitu Ruang, hingga jalan-jalan terjal di perbukitan, semuanya menjadi bagian dari perjalanan yang mengulang pesan yang selalu disampaikan L.K. Ara dalam karyanya: tetap juyur, berani, dan memiliki harga diri.*** (LK Ara)










