Wartatrans.com, Jakarta — Hari itu, Sabtu (15/11/2025 Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM) dipadati penonton. Di luar hujan baru saja reda, mereka antri masuk dengan raut penasaran, seolah tahu bahwa malam itu Mahagenta akan menggelar konser yang bukan sekadar menggelar konser, tetapi merayakan perjalanan panjang penuh cerita.
Saat lampu ruangan redup, suasana menjadi magis. Denting alat musik tradisional berpadu dengan instrumen modern, membuat penonton larut dalam harmoni rasa.

Di atas panggung, para pengisi acara tampil memesona dengan pakaian tradisional dari berbagai daerah. Ada yang mengenakan busana Jawa, kain Nusantara, hingga kimono Jepang yang ikut mewarnai nuansa multietnis, sejalan dengan karakter musik Mahagenta.
Uyung Mahagenta, sang pendiri, menyebut konser bertajuk Lentera Katulistiwa ini adalah upaya menyalakan kembali cahaya tradisi.
“Kami ingin karya ini menerangi jiwa dan mendekatkan masyarakat pada budayanya,” ujarnya, penuh harap.
Di antara penonton, hadir juga perwakilan Kementerian Kebudayaan, Meta Ambar Pana. Ia mengapresiasi Mahagenta yang konsisten menjaga musik tradisi melalui aransemen penuh eksplorasi.
“Konser ini adalah puncak perjalanan panjang Mahagenta. Selain juga penanda komitmen masa depan yang lebih gemilang,” katanya.
Wakil Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Felencia Hutabarat, ikut memberikan pujian hangat. “Mahagenta menunjukkan tradisi dan inovasi adalah dua kekuatan yang saling melengkapi,” ujarnya.
Malam itu Mahagenta menampilkan 17 karya terbaik dari perjalanan 29 tahun mereka. Dari komposisi lembut hingga komposisi eksplosif, penonton dibuat terpukau berkali-kali.
Di balik panggung, persiapan panjang selama enam bulan terasa terbayar. Ada 40 anggota yang terlibat, terdiri dari musisi, penari, hingga pelajar SMP yang ikut memberi warna.
Konser ini bukan hanya perayaan ulang tahun, tetapi juga kilasan sejarah Mahagenta sejak terbentuk pada 11 November 1996. Kala itu, mereka lahir bersamaan dengan Ethno Music Festival Dewan Kesenian Jakarta, yang kemudian menjadi gerbang awal kolaborasi besar mereka.
Kini, setelah hampir tiga dekade, Mahagenta tetap setia merawat tradisi sambil merangkul modernitas. Musik mereka tetap bercerita, tetap bernapas, dan tetap mengajak siapa saja yang mendengarnya untuk merasa bangga menjadi bagian dari Indonesia.
Riuh tepuk tangan penonton menjadi bukti bahwa perpaduan generasi itu terasa sangat hidup dan menyegarkan. Dan malam itu, di Taman Ismail Marzuki, cahaya lentera mereka terasa begitu terang.*** (Tyo)









