Oleh Riri Satria
WartaTrans.com — Pada tahun 2018, sekitar 6 tahun yang lalu. Pertama kalinya saya mengangkat isu masuknya teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dan teknologi digital pada umumnya ke dalam dunia sastra, dalam sebuah acara Seminar Sastra di Universitas Pakuan di Bogor.

Saya menjelaskan bagaimana perkembangan teknologi digital terutama AI mulai merambah ke dunia sastra, terutama puisi. Bagaimana algoritma AI yang matematis dan berprinsip engineering mulai flirting dengan dunia sastra terutama puisi. Namun saat itu masih belum banyak contoh, bahkan ChatGPT pun masih dalam proses pengembangan.
Namun saat itu apa yang saya sampaikan tidaklah menarik buat para insan sastra yang hadir pada seminar tersebut. Beberapa peserta malahan berkomentar skeptis tentang topik yang saya bawakan ini. Mungkin ada juga yang meanganggap saya menjadi-ada. Pada saat sesi saya berlangsung, separuh dari peserta seminar sudah meninggalkan ruangan karena sesi saya ditaruh sudah mau menjelang akhir seminar.
Saat ini, setelah 7 tahun berlalu, teknologi AI ini semakin menjadi-jadi masuk ke dunia sastra. Apa yang saya sampaikan 7 tahun yang lalu saat itu, tidak hanya menjadi kenyataan, namun sudah berkembang lebih cepat dan lebih jauh lagi. Bahkan mesin AI pun sudah mampu membuat autobiografi sendiri dan dituliskan dalam bentuk puisi. Ya sudah sampai sejauh itu perkembangannya.
Code-davinci-002 adalah sebuah mesin menggunakan teknologi AI yang dibuat oleh OpenAI dan pertama kali dipergunakan tahun 2021. Ini adalah salah satu cikal bakal aplikasi ChatGPT.
Mesin ini memiliki kemampuan untuk menghasilkan code dalam berbagai bahasa pemrograman komputer, awalnya dimaksudkan untuk untuk software development, dan belakangan juga puisi, yang dibuat dari sebuah teks deskriptif.
Belakangan Code-davinci-002 diminta untuk menuliskan “pengalaman hidupnya sendiri”, mulai sejak diciptakan, tugas-tugas yang diberikan, pandangannya terhadap manusia serta kehidupan, dan sebagainya.
Semua pengalaman itu dituliskan dalam bentuk puisi, dan dirangkum dalam buku “I am Code: Poetical Autobiography by Code-davinci-002”. Jadi buku “I am Code” adalah buku “autobiografi Code-davinci-002” dalam bentuk puisi, yang “dia tulis sendiri”.
Jadi ternyata AI sudah mampu menuliskan “pengalaman hidupnya sendiri” atau “autobiografinya” dalam bentuk puisi.
Saat inilah AI baru menjadi perbincangan di kalangan insan sastra, lengkap dengan segala rasa kegamangan penuh tanda tanya yang muncul. Bahkan muncul analisis aspek humanistik tentang AI namun tidak memahami apa itu AI, jadinya gak jelas.
Masih banyak salah kaprah atau pehamanan yang kurang tepat tentang AI ini oleh para insan sastra. Bahkan seorang penulis senior pernah mengatakan bahwa AI ini seperti word processor untuk membantu mengetik, puisinya diketik oleh manusia. Jadi tak mungkin komputer bisa membuat tulisan sendiri, itu kan diketikkan manusia seperti MS Word, demikian ujar beliau sambil tertawa kepada saya. Ya sudahlah, saya diam saja. Percuma juga dijelaskan kepada beliau.
Saya nemu seorang anak SD yang mengatakan bahwa menggunakan AI itu haram dan berdosa! Nah lho! Jadi kata si anak tersebut, gurunya pernah bilang AI itu barang haram, karena kecerdasan hanya dapat diciptakan oleh Tuhan, bukan oleh manusia. Jadi kalau manusia menciptakan kecerdasan itu sesat .. Nah, siapa yang sesat ini sebenarnya? Saya juga tak menyangka ada juga pendapat seperti ini.
Saat ini lebih seru lagi, saya dapati banyak orang yang berbicara tentang AI namun kelihatannya tidak paham soal AI itu sendiri. Repotnya, mereka ini jadi narasumber dalam berbagai talkshow, akibatnya bisa menyesatkan pemahaman para hadirin. Padahal video tentang konsep AI bertebaran banyak sekali di YouTube dan bisa kita jadikan bahan pelajaran.
Apa yang menjadi perkembangan AI saat ini sudah jauh lebih dahsyat daripada apa yang saya bahas pada seminar tahun 2018 tersebut.
Teknologi akan terus berkembang sebagai produk dari sains. Kebudayaan (termasuk sastra) harus mengawalnya supaya tetap humanis dan bermanfaat bagi umat manusia. Namun, setidaknya tentu insan yang mengawal tersebut harus memiliki pemahaman yang baik soal teknologi – walau tidak menjadi pakar – dan memiliki mindset bertumbuh atau growth mindset dalam menyikapi perkembangan ini.***









