Wartatrans.com, KALBAR — Di tengah derasnya arus modernisasi dan ekspansi industri ekstraktif di berbagai wilayah Kalimantan Barat, masyarakat Dusun Silit di Desa Nanga Pari, Kecamatan Sepauk, memilih langkah berbeda. Komunitas Dayak Seberuang ini teguh menjaga keseimbangan hidup dengan alam, mempertahankan hutan adat sebagai sumber identitas, spiritualitas, dan penghidupan.
Sejak lama, warga Silit menjadikan hutan dan sungai sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya mereka. Prinsip “Selama hutan ada, hidup tetap ada” menjadi panduan utama dalam menolak aktivitas yang dinilai merusak lingkungan, termasuk Pertambangan Tanpa Izin (PETI) dan perluasan kebun sawit.

Pada 2018, masyarakat Silit mulai memperjuangkan pengakuan legal atas hutan adat mereka. Setelah proses panjang empat tahun, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akhirnya menerbitkan Surat Keputusan pengakuan hutan adat pada 2022.
Pengakuan tersebut menjadi tonggak sejarah penting bagi warga. Meski demikian, tantangan baru tetap muncul, terutama dari maraknya pencarian gaharu ilegal. Pelaku dari luar wilayah kerap memasuki hutan tanpa izin, sementara desa belum memiliki peraturan formal yang memperkuat sanksi adat. Hingga kini, papan batas kawasan hutan adat pun belum terpasang, membuka celah bagi pelanggaran.
Meski menghadapi tekanan dari luar, warga Silit menegaskan tidak memberi ruang bagi perusahaan mana pun untuk mengelola atau membuka lahan di wilayah mereka. “Jika hutan hilang, budaya ikut hilang,” menjadi alasan utama yang dipegang bersama.
Alih-alih mengeksploitasi sumber daya, masyarakat memilih memanfaatkan alam secara bijak. Salah satu inisiatif besar adalah pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) yang memanfaatkan aliran sungai tanpa merusaknya. Kehadiran listrik kini menerangi dusun tanpa mengorbankan lingkungan.
Warga juga mengembangkan ekonomi kreatif berkelanjutan melalui kerajinan daun pepuruk. Tumbuh liar di hutan, daun ini diolah menjadi tas, wadah, tikar, dan perlengkapan adat menggunakan teknik tradisional.
Perempuan menjadi garda depan pelestarian kerajinan ini. Di rumah-rumah panjang, mereka menganyam pepuruk dengan telaten, menjadikannya tidak hanya sebagai produk budaya, tetapi juga media pewarisan nilai kepada generasi muda.
Meski modernisasi masuk melalui pendidikan dan perkembangan sosial, masyarakat Silit tetap memegang teguh filosofi hidup selaras dengan alam. Hutan dipandang sebagai penyangga masa depan, sungai sebagai sumber kehidupan, dan tanah sebagai jejak leluhur.
Dusun Silit mungkin kecil secara geografis, namun menjadi contoh kuat bagaimana komunitas adat dapat merawat lingkungan sekaligus membangun masa depan tanpa melepaskan akar budaya.*** (LonyenkRap)









