Menu

Mode Gelap
Membaca Kembali Ruang Alternatif Pasca-Revitalisasi TIM: Analisis Wacana pada Diskusi Paradocs #2 Peruja dan IKJ Jalan Mustapa DG. Bunga Rusak Parah Selama Dua Tahun, Warga Romang Polong Minta Pemkab Gowa Segera Bertindak Aceh Tamiang Mencekam Dilanda Banjir, Warga Butuh Makanan dan Air Bersih Ribuan Warga Terisolir di Perbatasan Bener Meriah–Aceh Utara, Persediaan Pangan Habis PMI Evakuasi Lima Jenazah Korban Banjir, BFLF Lhokseumawe–Aceh Utara Salurkan Bantuan Hingga Menjadi Call Center Darurat Kuflet Siapkan Penerbitan Antologi Puisi Bencana “Air Mata Sumatera”

Uncategorized

Membaca Kembali Ruang Alternatif Pasca-Revitalisasi TIM: Analisis Wacana pada Diskusi Paradocs #2 Peruja dan IKJ

badge-check


					Membaca Kembali Ruang Alternatif Pasca-Revitalisasi TIM: Analisis Wacana pada Diskusi Paradocs #2 Peruja dan IKJ Perbesar

Wartatrans.com, JAKARTA — Wacana mengenai ruang alternatif kembali memperoleh urgensi baru dalam diskusi seni di Galeri Oesman Effendi, Taman Ismail Marzuki (TIM), yang digelar bersamaan dengan pameran Paradocs #2 oleh kolektif seniman Peruja. Pameran ini bukan semata kegiatan kuratorial tahunan, melainkan titik temu antara seniman, akademisi, dan pemangku kebijakan budaya untuk membahas perubahan struktural dan konseptual dalam ekosistem seni Jakarta.

Diskusi menghadirkan tiga figur dengan latar keahlian berbeda: Bambang Prihadi (DKJ), Firman Lie (perupa dan pengamat ruang eksperimen), serta Tubagus Andre Sukmana (mantan Kepala Galeri Nasional). Dengan dipandu oleh Aidil Usman (Ketua Komite Seni Rupa DKJ), forum ini menjadi ruang artikulasi yang mempertemukan perspektif historis, praksis artistik, dan pembacaan kebijakan publik.

TIM sebagai Ruang Budaya: Dari Narasi Historis ke Problem Paska-Revitalisasi

Dalam pemaparannya, Bambang Prihadi menggarisbawahi pentingnya membaca sejarah institusional TIM sebagai dasar memahami pergeseran ekosistem seni hari ini. Ia menekankan bahwa TIM sejak awal pendiriannya oleh Gubernur Ali Sadikin pada 10 November 1968 dibayangkan sebagai ruang interaksi kultural, bukan sekadar fasilitas fisik.

Bambang merunut asal-usul TIM dari lahan hibah Raden Saleh, yang sempat menjadi kebun binatang pertama di Indonesia, sebelum kemudian ditransformasikan menjadi pusat kesenian. Penelusuran ini menunjukkan bahwa TIM memiliki warisan historis sebagai ruang progresif, tempat gagasan seni, politik kebudayaan, dan aktivitas publik saling bertemu.

Namun pasca revitalisasi, menurut Bambang, terjadi pergeseran orientasi ruang yang menjauh dari karakter organiknya. Seniman merasakan adanya diferensiasi akses, keterasingan, dan pembatasan interaksi, yang ia gambarkan sebagai “tembok besar yang tidak tampak”.

Dari perspektif akademik, kondisi ini berkaitan dengan konsep “cultural displacement”—yakni situasi ketika transformasi fisik ruang budaya tidak diiringi dengan kontinuitas nilai dan fungsi sosialnya.

Ruang Alternatif sebagai Ekosistem Pengetahuan: Perspektif Eksperimen dan Produksi Gagasan

Firman Lie memposisikan ruang alternatif sebagai komponen epistemik dalam produksi seni, bukan semata ruang fisik. Ia menegaskan bahwa ruang alternatif muncul sebagai jawaban atas kebutuhan spesifik yang tidak terakomodasi oleh institusi formal.

Dalam kerangka teori ekologi seni, Firman menggarisbawahi tiga fungsi utama ruang alternatif:

1. Fungsi Penyeimbang
Ruang alternatif menjadi wilayah yang mengkritisi dominasi institusi formal dan menetralisir homogenisasi wacana.

2. Fungsi Dokumenter-Kritis
Ia menjadi catatan sosial, tempat hadirnya arsip hidup yang tidak selalu tercatat dalam sejarah resmi seni rupa.

3. Fungsi Kesehatan Ekosistem
Eksistensi ruang alternatif menjadi indikator vitalitas dunia seni; jika ruang seperti ini menurun, menandakan ekosistem sedang mengalami stagnasi.

Firman juga menyatakan bahwa seni seharusnya dibaca tidak hanya melalui produk artistik, melainkan dampak sosial dan produksi pengetahuan yang dihasilkannya. Dengan kata lain, ruang alternatif berperan sebagai laboratorium gagasan, tempat artistik, akademik, dan praksis sosial saling menubuh.

Kemitraan Peruja dan DKJ dipandangnya sebagai hibrida ruang—menggabungkan pengalaman seniman otodidak dengan struktur akademis untuk merespons kebutuhan ruang yang lebih terbuka.


Perspektif Kebijakan dan Infrastruktur: Membaca Anomali Ruang Formal

Tubagus Andre Sukmana menghadirkan analisis penting mengenai ketegangan struktural dalam ekosistem seni formal. Dari pengalamannya memimpin Galeri Nasional, ia menyoroti:

Tumpang tindih kewenangan, ketidakjelasan mandat lembaga,distorsi dalam perumusan kebijakan seni,serta anomali relasi antara komunitas, pemerintah, dan fasilitator seni.

Dalam teori tata kelola kebudayaan, situasi ini dikenal sebagai “policy incoherence”, yakni ketika kebijakan publik tidak terintegrasi secara vertikal maupun horizontal. Tubagus menegaskan bahwa ketidaksinkronan ini sering berdampak langsung pada terbatasnya akses seniman terhadap ruang pameran formal.

Ia mendorong perlunya penguatan ruang dan lembaga alternatif, seperti Taman Budaya Jakarta, diluar dari TIM atau gelamggang-gelanggang yang sudah ada, yang dapat berperan sebagai intermediate space—ruang penyangga yang menangani kebutuhan komunitas seni ketika struktur formal gagal berfungsi optimal.

Paradocs #2 sebagai Model Dialogik Ruang Seni

Paradocs #2 tidak hanya menjadi pameran, tetapi juga studi kasus mengenai bagaimana ruang seni dapat dirancang sebagai model dialogik. Dengan mengintegrasikan pameran, diskusi, dan kolaborasi lintas ilmu, kegiatan ini mencontohkan apa yang disebut “ruang alternatif dalam praktik”:

Inklusif,tidak birokratis, responsif terhadap perubahan sosial, dan membuka ruang artikulasi bagi aktor seni dari berbagai latar.

Rangkaian diskusi menunjukkan bahwa dinamika ruang alternatif tidak mungkin dipahami semata dari aspek arsitektur atau kebijakan, tetapi harus dilihat sebagai relasi kompleks antara ruang, aktor, pengetahuan, dan sejarah.

Diskusi Paradocs #2 menggarisbawahi bahwa urgensi ruang alternatif bukan sekadar persoalan tempat, melainkan persoalan struktur pengetahuan, akses, dan kontinuitas sejarah seni.

Melalui tiga perspektif pembicara—historis (Bambang), epistemik-eksperimental (Firman), dan kebijakan (Tubagus)—diskusi ini memperlihatkan bahwa:

ruang alternatif adalah penopang vital demokratisasi seni, ia hadir karena kegagalan atau kekakuan institusi formal, namun di sisi lain juga menjadi ruang produksi gagasan yang tidak dapat digantikan oleh lembaga besar, dan keberlanjutannya bergantung pada sinergi antara komunitas, akademisi, dan negara.

Paradocs #2, melalui pendekatan dialogik dan kolaboratifnya, memperlihatkan bagaimana ruang alternatif dapat difungsikan sebagai model ekologi seni yang lebih sehat di tengah perubahan struktur budaya Jakarta.*** (Fahmi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Jalan Mustapa DG. Bunga Rusak Parah Selama Dua Tahun, Warga Romang Polong Minta Pemkab Gowa Segera Bertindak

1 Desember 2025 - 06:02 WIB

Ribuan Warga Terisolir di Perbatasan Bener Meriah–Aceh Utara, Persediaan Pangan Habis

30 November 2025 - 22:24 WIB

PMI Evakuasi Lima Jenazah Korban Banjir, BFLF Lhokseumawe–Aceh Utara Salurkan Bantuan Hingga Menjadi Call Center Darurat

30 November 2025 - 21:02 WIB

Kuflet Siapkan Penerbitan Antologi Puisi Bencana “Air Mata Sumatera”

30 November 2025 - 20:39 WIB

Banjir Putuskan Akses Aceh Tamiang, Warga Masih Terisolir

30 November 2025 - 20:20 WIB

Trending di PERISTIWA